Minggu, 03 Agustus 2008

Apatis


"Wakil rakyat seharusnya merakyat "demikian sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan Iwan Fals. Lagu-lagu bertema sosial rupanya selalu membuat gerah para petinggi negara ini. Setelah sempat bungkam selama beberapa lama, para pekerja seni kembali beraksi dengan karya-karyanya yang bertema kritik sosial. Heboh lagu Ujung-ujungnya Duit yang dilantunkan grup rock Slank semakin memanas dengan terungkapnya kasus suap pengalihfungsian hutan Riau. Dewan Perwakilan Rakyat yang kebakaran jenggot karena merasa tersindir oleh lirik lagu tersebut berakhir dengan cipratan lumpur yang mencoreng nama yang memang sudah berkurang wibawanya. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme memang sudah berakar kuat pada bangsa ini layaknya akar pohon-pohon tua. KKN tersebar dimana-mana mulai dari lapisan bawah hingga jajaran elit dan pejabat negara. Berdirinya KPK memungkinkan terbongkarnya praktek kotor pejabat dan wakil rakyat yang selama ini jarang terungkap. Keberhasilan KPK bisa dilihat dengan ditangkapnya oknum-oknum yang merugikan rakyat. Sungguh di luar dugaan bahwa di antara oknum-oknum tersebut terselip nama-nama besar yang selama ini berjuang atas nama rakyat. Kesakralan Senayan memudar dengan tertangkapnya beberapa penghuni gedung perkantoran DPR itu. Kasus suap dan skandal seks bermunculan, menyeret tokoh-tokoh politik yang sukses mendapatkan kepercayaan rakyat. Pengkhianatan kepada rakyat ini sungguh menorehkan luka yang sangat dalam. Di tengah kegelisahan akan krisis yang semakin meningkat ini, rakyat memberikan kepercayaannya kepada orang-orang terpilih. Orang-orang yang ditunjuk untuk membawa suara rakyat ini justru mengkhianati mandat yang diemban. Al Amin Nasution, Yusuf Emir Faisal hanyalah awal dari rentetan skandal suap yang memalukan. Seolah tak cukup dengan imbalan fantastis dan berbagai fasilitas eksklusif atas kedudukannya di DPR, orang yang mengaku wakil rakyat ini justru memanfaatkan waktu untuk menambah pundi-pundinya. Zaini Yahya, Max Muin adalah cermin yang menunjukkan bobroknya moral bangsa ini. Perselingkuhan, pelecehan dan eksplotasi seks diakui oleh Permadi anggota dewan dari fraksi PDIP sebagai kebiasaan sehari-hari di Senayan. Sakit hati rakyat bertambah lengkap dengan terungkapnya skandal-skandal lain pemicu jebolnya keuangan negara di tangan pengusaha yang bekerja sama dengan aparat maupun pejabat negara. Skandal BLBI yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan hakim Khaidir, hingga skandal-skandal aparat di tingkat daerah menjadikan rakyat kian apatis. Kerja keras KPK seakan menguap begitu saja dengan tidak tuntasnya pengadilan hukum para koruptor dan pencuri uang rakyat lainnya. Wajar jika praktek KKN ini semakin menjamur karena tidak adanya efek jera bagi para pelaku. Hukuman fisik dan mental hanya berlangsung singkat tak sepadan dengan banyaknya uang hasil merampok rakyat. Perlakuan khusus menjadikan hotel prodeo layaknya hotel bintang lima. Rasa malu akibat aib pun tak ada dengan dilontarkannya pembelaan diri sebagai korban yang tak bersalah. Setelah tuntas menjalani hukuman masih bisa hidup enak dengan harta berlimpah. Andaikan para koruptor diwajibkan mengembalikan uang rakyat berikut bunganya, bukan mustahil keuangan negara bisa tertolong dan rakyat pun sedikit terbebas dari himpitan ekonomi. Namun sepertinya pemberantasan KKN masih berupa mimpi semata. Praktek-praktek KKN masih tersebar di segala tempat. Pungutan-pungutan liar maupun uang jasa untuk memperlancar urusan sangat sulit untuk dihilangkan. Agaknya setiap orang lebih menginginkan jalan pintas untuk sampai ke tujuan. Tidak adanya semangat untuk berusaha dengan jujur rupanya menjadi awal budaya KKN di negara ini. Sekeras apapun para kritikus bersuara, aksi mereka hanyalah sekedar hiburan di tengah keruwetan ini.

Tidak ada komentar: